Ketika Nohara Hiroshi Terjebak Melankolia
Nohara Hiroshi,
ayah 35 tahun dari 2 orang anak unik yang selalu kalah dari Nohara Misae,
istrinya. Iya, dia tokoh ayah dari serial
Crayon Shinchan, yang akhir-akhir ini gue tonton, sehingga jadi latar belakang
dalam analisa over-sentimental dan emo gue akan kehidupan, yang mungkin sama annoyingnya sama size foto KTP Bapaknya Shinchan yang mejeng disini. Silahkan meringis dan memaki, karena itu juga yang akan dilakukan oleh gue dimasa depan ketika ngebaca ini.
Nohara Hiroshi
adalah prototype kehidupan yang menurut gue lumayan deket dari kehidupan nyata,
terutama dari fakta kalo dia adalah seorang pekerja, yang menemukan dirinya
dari kerja kerasnya, hanya itu.
Pertanyaan dia
akan apa yang ia kerja keraskan, ia
lepaskan-jika memang ia memilikinya.
Jika ia tidak semangat bekerja, ia
ungkapkan. Ia bukan merupakan prototype orang-orang yang mementingkan passion untuk bekerja, karena ia bekerja
untuk hidup dan menghidupi. Ia tahu, 3 mulut menunggu untuk diberi makan
dirumah. Potret orang-orang selfless. The level of selflessness of which I aspire
to.
Jika ia lahir
sebagai millennial, mempertimbangkan
kehidupan pekerjaannya yang menuntut dan sebenernya dia gak suka tapi terpaksa ia jalani, dari losernya dia di hampir semua episode yang ada dia-nya, gue rasa gampang aja bagi seorang Nohara Hiroshi untuk
terjebak melankolia dan gak berbuat apa-apa. Tapi yang dia lakukan, bukan itu.
Dia terus
bekerja keras, karena gak ada pilihan lain bagi orang yang merupakan pecundang di kehidupannya sendiri selain melakukan
hal itu, bukan?
Kemudian, mengingat
tanggung jawab dimasa depan, apakah pantas bagi laki-laki berusia 21 tahun
untuk terus terusan memegang kepala dipinggir tempat tidur dan melulu berpikir,”ini
gak bener, engga..”? dan berada dalam stagnansi akan apa yang ia kerja
keraskan?
Ya, itu gue.
Kehilangan akan perasaan “kontrol akan kehidupan sendiri.” Yang pernah dimiliki
di awal remaja, namun hilang bersama penerimaan akan realita dimasa kuliah,
dan muncul lagi setelah pulang dari Pulau Salawati.
Perasaan
kendali itu kini hilang perlahan, bersama kenangan di Timur sana yang perlahan
mengabur. Bersama logat Timur maksa gue yang perlahan kehilangan waktu
penggunaan.
Sejujurnya,
hidup di Timur sana masih merupakan titik terjauh gue membentangkan kehidupan
gue sendiri. Titik terjauh gue bertemu orang baru. Titik terjauh gue melakukan
hal baru.
Titik dimana ketika ada pertanyaan, “kapan terakhir kali lo melakukan
sesuatu yang baru?” bisa gue jawab, “hari ini.”
Setiap harinya
dalam 45 hari, gue melakukan sesuatu yang baru.
Dan dalam kegabutan-kegabutan
ini, setelah titik terjauh itu, siapa yang gak muak?
Yah, gue nulis
ini juga biar perasaan kontrol itu muncul lagi, hopefully it’s effective, then.