Dimakan Ikan Tengiri

Beberapa minggu lalu, ketika ‘lo mudik ga?” jadi topik basa basi yang pas buat ditanyain ke temen yang udah lama ga bertegur sapa, dan ketika tawa dan drama dirindukan, ada satu topik yang ngegelitik buat disambungin ke kehidupan yang gue liat, yaitu ketika seonggok Raheem Sterling banyak diisukan pindah ke Manchester City (yang sekarang jadinya iya).
 Twister Ling

Dan, sebagai reaksi, banyak orang ngekritik loyalitasnya ke klub yang ngebawa dia ke the limelight of english football, kemudian ada opini lainnya macam mata duitan, kayak Nia Daniati, ato ada juga opini yang bilang dia itu single minded. Berpikiran tunggal. Jadi buat lo yang ngeluh karena gabisa multitasking, bersyukurlah. Cuma bisa mikir satu hal jauh lebih nyusahin, kayaknya.

Dari semua itu, ada satu opini alternatif yang menarik buat dibahas. Gue suka banget karena dia nyorotin sisi yang lumayan "humanis" dari permasalahan ini, yang bisa mencakup ke kehidupan secara umum, bukan Sterling doang, dan bukan pesepak bola doang.

Tapi, kita bisa berangkat dari kehidupan mereka, tentang masalah ini :)

Jadi, artikel ini nyorotin betapa pemain bola top-flight macam Sterling adalah hard men, baik secara fisik maupun emosional. 

Gimana mereka tumbuh di akademi sepak bola bersama temen-temen yang seumuran dan satu passion dengan mereka, yang semakin akrab dengan tumbuhnya waktu bersama, namun, kemudian mereka ngeliat temen-temen mereka itu dikasitau hard truth oleh akademi klub tempat mereka berada,
 
Kalo mereka, udah gak lagi dibutuhkan.
 
Ato yang lebih parah, kalo sepak bola bukan masa depan mereka.

Pemain-pemain bola top-flight ini yang ngeliat harapan-harapan berguguran persis didepan mereka. Gimana rekan setim yang setiap hari berbagi ruang ganti, tiba-tiba gak ada, karena diputus kontrak, ato diputuskan untuk gak mendapatkan program scholarship lanjutan.

Kejam? Yah, didunia mereka, itu realita. Gak ada soal kedekatan personal, ato masalah-masalah lain yang berdasar kepada "belas kasih" dan "kebaikan" tapi ga relevan, semuanya tentang ngebuktiin peran di tim. Gimana mereka bisa selalu ngasi yang terbaik disetiap kesempatan.

Dan itu, jenis loyalitas yang dipahami oleh pemain bola, oleh Sterling, pada khususnya, dan, itu jelas tercermin dari keputusan yang dia ambil. Mengutip dari si penulis artikel, semua itu karena Top-flight football does not breed balanced individuals. It breeds single - minded, intensely driven young men who prioritise their careers over everything else because, if they want to make it, they have to. 

Dari situ, ada beberapa hal yang bisa diambil, ato disambung-sambungin sama dunia general, tempat gue dan lo berada, bukan tempat pemain-pemain bola top flight ini berada. Kecuali kalo lo Raheem Sterling yang kebetulan bisa bahasa Indonesia. Kalo itu kasusnya, gue tanya: ngapain pelajarin itu, Ling? Mau ke Mitra Kukar?


Ehm.

Satu yang gue liat, it’s about a hard world that we live in, it has only two options: sink, or swim? Harus kerja keras, susah-susah berenang demi survival, ato mati tenggelam. Ato, ketika lo gak berenang dan berpikir cukup cepat, ada hiu yang siap memangsa lo dari belakang. Salah sendiri naik kapal bocor di Florida.
 
(oke, yang itu bercanda. Hiu itu analoginya kompetitor yang main dengan cara licik)

Swim. Buktiin peranlo di tim. Dan kalo gak bisa ngebuktiin kegunaanlo di dunia lo, lo out. Sink. Ato yang menurut banyak orang lebih buruk, be judged with no future over what you’re so passionate about. To make things worse, those who judged are coaches and scouts that capable enough to judge, therefore it must be hard to recover from such hit and keep moving forward, or even to take another job as regrets ready to shadow your thoughts.
Artinya? Kelar iduplo.

Gimana pun juga, kerja keras adalah elemen penting dari survival orang di The Ocean of Hard Truth ini.

Dan ketika gue ngeliat diri gue, dengan standar hard men yang gue liat, dan sebutin diatas, gue rasa gue bakal mati tenggelam kemudian dimangsa oleh ikan tengiri, yang notabene jauh lebih cupu daripada ikan hiu.
  
Lesson learned: ejaan yang benar adalah ikan tenggiri, bukan tengiri. Bodo amat.

Hal kedua yang gue liat adalah: Having such great mates, and realize that you’re nothing compared to them, is another kind of torture. Some Proud-but-hurt kind of torture. A bit of pressure, but you must be glad that you have them because if not, there’s something wrong with your competitive nature. Gue rasa, kalo gue jadi temennya Sterling yang dieliminasi ini, yang gue rasain adalah sedikit rasa bangga karena gue, seengganya pernah se-tim sama Sterling. Kecuali kalo gue kiper timnya kemudian pada debut ngebikin 5 blunder yang semuanya berujung gol, 
 
gol bunuh diri pula,

oleh gue.

Kalo itu yang terjadi, gue bakal cenderung ngerasa kalo gue dulu lebih perlu dimasukin ke institusi kejiwaan dibanding akademi sepak bola, Se”sakit” apa sih? But trust me, i've been through that moment (blunder 5 kali)once, or twice, not so sure how much.


Yaaa, kembali lagi. Memang, dikasus itu rasa bangga akan cukup logis untuk dirasain, tapi gue rasa itu cuma sedikit. Akan lebih banyak penyesalan dan kekecewaan yang terasa, not to make the cut. Meski pasti ada banyak alternatif perasaan yang lain. Tapi soal karier dan choices in life, kemungkinan besar itu yang gue rasa di situasi itu.


Butdoes it all matters? Engga. Karena apapun yang terjadi soal ini semua, perasaan ato apapun yang subyektif gak bakal ngaruh karena tipe loyalitas yang harus dipegang adalah whether to sink or to swim. Whether to make myself count on every occasion or to make myself ready not to make the cut, which is about another opportunities. And, when served with another opportunity i’ve been starved to, take the swim-or-sink-logic again. No mercy needed. Proses itu berulang terus dan terus sampe akhirnya bisa kepilih, alias made the cut.

Ato, di istilah teknik, gue mengenalnya sebagai sebuah proses bernama trial and error.

Dan satu lagi yang berhubungan, gue ngeliat hidup sekarang dan kedepan adalah proses besar dari trial and error. Sok tuir, emang. Tapi seengganya itu yang gue liat, gue baca, gue amati dari pengalaman orang, seengganya dalam 19 taun gue idup sampe sekarang. Trial, then error, then trial again, then error. Gitu terus sampe selamat. Gimana menguasai dan memadukan seni kerja keras, kerja cerdas, susah dibegoin, kecepatan berpikir, dan elemen elemen survival lain yang bisa diliat sendiri di kehidupan sehari-hari.

Yah, seenggaknya itu yang gue liat, belom gue praktikkan secara maksimal. Karena as you can see, gue udah lama gak made the cut untuk sesuatu yang gue inginkan sepenuhnya.

Tapi akan, secepatnya.

Yah, karena gue gak punya pilihan lain. Gue juga muak kalo terus-terusan dimakanin ikan tengiri. :)

0 comments:

Posting Komentar

My Instagram