Flaws in Life & The Death Itself




“Halo selamat siang, dengan siapa kami bisa berbicara mengenai kerjasama dengan perusahaan bapak?


Udah berminggu-minggu, seminimal- minimalnya 3 kali seminggu, gue nelpon perusahaan dengan gaya begitu. Ya, itu masih jadi concern utama gue beberapa bulan terakhir, dimana gue diamanahkan ngehandle bagian Sponsorship dari acara Teknik Sipil Oktober nanti, Civilweek.

Udah berminggu-minggu, gue beradaptasi dengan amanah itu, sehingga gue belajar gimana ngehadapin berbagai tipe dari orang dan institusi. Dan yang terpenting, gue belajar jurus-jurus intrapersonal yang pas untuk itu semua, a good lesson for a clumsy and foul-mouthed person, eh?

Dan udah berminggu-minggu juga, gue pulang ke kosan dengan mata sayu.



Gue baru aja tiba disatu titik ketika yang gue liat hanya kekurangan, kekurangan, dan kekurangan dari segala sesuatu yang gue alami. Segalanya terlihat salah, salah, dan salah. Where the flaws on your environment are ones that catch your eye. Mungkin karena kebanyakan ngeliat flaws makanya mata gue ikutan sayu ya?

Tapi, gimana juga, gue selalu terbuka sama satu kemungkinan yang ada: apa gue yang salah? Apa gue yang salah memandang itu semua? Apa gue yang salah melihat dari sudut pandang yang ternoda?



Ada cerita yang men-trigger gue untuk selalu terbuka sama kemungkinan tersebut, here goes...


Pada suatu hari ada sepasang suami istri kedatangan tetangga baru di seberang rumah, ia tetangga yang suka menjemur kain putih di teras rumahnya.


Hari pertama si tetangga menjemur kain putih diteras, si istri bilang,”tetangga kita pakai detergen apa sih pak? Kainnya putih banget?”

Enggak, tentu saja si suami gak ngejawab dengan merek detergen yang dipakai si tetangga: ini bukan iklan deterjen.
 

Hari kedua dan ketiga berlalu hingga hari ketujuh, si istri, lewat jendela depan rumah ngeliat, dan mikir,”ah, kenapa kain-kain si tetangga ga seputih hari pertama ya?”

Dua minggu tetangga menjalankan rutinitasnya, si istri melihatnya dari jendela depan rumah, berpikir,”cucian tetangga cepat banget kusamnya,”

Dan, singkat cerita, pada hari ke-30, si istri bertanya pada suaminya,”pah, kenapa tetangga kita aneh banget, ngejemur kain-kain kusam nan buluk penuh kenistaan. Aku takut hal ini akan menimbulkan fitnah di lingkungan kita.”

Dan, si suami pun tau, ini saatnya membersihkan jendela depan rumah.




Got it? There’s still a possibility that my window of perspective has gone far too dirty.




Selanjutnya, gue asumsikan itu yang terjadi: “Jendela” gue udah kotor.

Namun, apa yang mengotorinya?

Gue eliminasikan kemungkinan- kemungkinan gak solutif kayak “kehidupan kuliah dan individualitas lingkungan lah yang ngebikin gue ngeliat lebih bitter,” atau “impian lama gue yang ga tercapai jadi penyebabnya” ato “gue harus kawin sekarang.” apakah gue akan berkembang dengan jawaban pertanyaan macam begitu? Engga,

In fact, itu semua bahkan gak bisa dikategorikan sebagai jawaban, melainkan alasan. 


 

Gue coba tarik lebih dalam, dan gue temukan satu pembeda. Sesuatu yang sangat mendasar, dan jadi awal mula segala hal:



Gue gak menghargai kematian, seperti dulu.



Gue rasa kita semua udah tau kalo kematian itu satu hal yang paling dekat kepada manusia. itu satu hal yang dipahami, tapi, apakah semua orang sadar tentang itu? apakah gue sadar tentang itu?

Sayangnya, yang terjadi adalah gue seperti memilih untuk gak menyadarinya,

Kemudian pada saat yang sama, gue gak memaknai hidup seakan hari ini hari terakhir gue. Dan kemudian gue seperti lupa dan gak sadar akan the death itself.
 
Ketika gue inget-inget lagi, banyak hal-hal baik yang secara unik terjadi ketika gue mengingat kematian.  Mungkin ini kedengeran aneh, sangat aneh, tapi nginget mati adalah semacam ke-random-an rutin yang gue suka lakukan dulu, gue pendem sendiri, tapi tiba- tiba berefek baik pada kehidupan gue. Gue diterima di Smansa, pas gue nginget mati. Gue keterima di kampus yang dulu sebenernya gak pengen gue masukin namun berefek baik sama perkembangan gue, pas nginget mati (this one for a cause). Dan itu baru sebagian kecil. Masih ada yang lain.
Bahkan, gue rasa, sebagian besar hal-hal terbaik yang pernah terjadi di hidup gue terjadi saat gue nginget mati. A good paradox, eh?

Tapi, paradoks ini ga tercipta dengan sendirinya, mengingat-ingat kematian bisa berefek bagus di kehidupan karena, gimanapun juga, dengan kematian membayangi, ngelakuin usaha terbaik jadi lebih mudah. Siapa yang gak mau mati meninggalkan nama baik karena usaha- usaha terbaiknya semasa hidup? Dan gak ada yang tau kapan mati itu ngejemput, kan? Kemudian, kenapa gak ngasih usaha terbaik itu, sekarang?


Satu lagi, dengan ngebayangin kematian itu dekat, gue jadi lebih bersyukur sama apa yang gue punya. Lebih memaknai dan menikmati apa yang ada didepan mata gue. Semacam gak punya pilihan lain lah, karena: logika aja, kematian udah deket, apa yang bisa gue nikmatin ya nikmatin.

Sayangnya itu yang lagi hilang dalam kehidupan gue akhir-akhir ini.

Elemen-elemen kenikmatan yang hilang selama ini, rasa syukur yang gak pernah gue rasakan, dan hal-hal kecil lainnya yang gak kepikiran sama gue, cuma butuh dipicu sama mikirin satu hal:


Kematian.



Gue harap, kedepannya gue bisa lebih berani ngingetin diri gue sendiri soal itu.

1 comments

My Instagram