Sosok, atau Sistem?

Ada beberapa hal yang membuat kita mencintai sesuatu, atau seseorang. Mukanya, bibirnya, idungnya, matanya, aspek fisiknya, ataupun cara berbicara, cara berpikir, cara menelaah dan lain sebagainya.

Tapi dimata gue, semuanya bermuara pada dua kemungkinan, lo mencintai sesuatu karena sosok dan/atau sistemnya?













Apakah kita mencintai sesuatu karena wujud ato rupa sesuatu itu sendiri, karena eksistensinya, yang kita sebut sosok? Ataukah kita mencintai karena hal- hal yang dia lakukan sebagai perangkat unsur dirinya sendiri yang secara teratur saling berkaitan, alias sistem? Lebih ‘mulia’ yang mana sih? Dan gue akan membahasnya dari hal yang gue cintai, gue sukai.

Dan, dari banyak hal yang gue cintai, gue memilih untuk mengambil contoh yang gampang aja, klub bola. (sekalian main aman biar ga mengundang gosip. Kasian nasib cewe yang digosipin sama gue) dan gue rasa cukup cocok mengingat saat ini, pendukung Manchester United tengah bimbang menghadapi keadaan yang menimpa timnya. Motivasi mereka mencintai klub bola itu dipertanyakan banyak pihak, untuk apa lo mendukung tim yang berkiblat pada tempat tidur(bikin ngantuk doang)? Apakah kalian mencintainya karena sejarahnya? Apakah diepisode selanjutnya Boy akan menembak Reva untuk kemudian mengkhianati sahabatnya, Alex, yang mengalami disorientasi selera dengan kecenderungan mengawini motor balap?

Uhm.

Motivasi kami, para fans MU sangat dipertanyakan dan diuji kali ini. Non-fans-MU seakan bertanya, apakah mereka mencintai sosok ‘Manchester United’ karena wujud, raga dari Manchester United itu sendiri? Atuaukah dikarenakan oleh cara Manchester United mempesona dengan sistem permainan-permainannya yang menyerang? Kalau begitu, Masihkah pantas MU dicintai ketika permainannya sudah tidak menyerang? Atau masihkah mereka doyan MU ketika suatu hari nanti, karena sebab yang absurd, nama klub mereka diubah jadi Persatuan Sepak Bola Seluruh Manchester(Persebohlam) ?


Kalo gue sih, dua-duanya 'ya' untuk dua pertanyaan pertama. Gue suka Manchester United karena klub itu adalah Manchester United. Karena wujudnya, merahnya, dan ke-MU-annya. Fakta bahwa mereka adalah MU aja udah membikin gue kepincut gitu. Dan juga, sistem permainan-permainannya pas gue tonton pada saat itu, begitu indah... Permainan menyerang dengan winger yang menusuk, kemudian jika terjadi deadlock di satu flank (sisi), winger di flank tersebut akan ngambil inisiatif shoot, oper ke gelandang tengah dimana sang gelandang akan dengan elegan menusuk langsung via tengah atau switch the ball to other flank; atau yang menurut gue paling asik, si winger milih untuk umpan lambung ke flank satunya. Sangat menghibur, kecepatan dan serangan bertubi-tubinya memuaskan mata siapapun yang mendukungnya. Keberanian mengambil resikonya juga bikin jantung butuh pelumas lebih karena deg-degan. Di setiap musim pasti ada pertandingan seri dengan skor 4-4, 3-3, ato 5-5. Tapi, dengan skor begitu, ada 1 pihak yang menjadi pemenang: penonton yang terhibur.

Tapi, itu dulu.

Sekarang, MU bermain membosankan. “Hard to beat, hard to watch” dan “like watching paint dry” adalah dua frase terkenal yang menggambarkan permainan MU sekarang. Dan kata-kata itu keluar dari Legenda mereka sendiri, Paul Scholes. Valid opinion from one of their best retired player that understand their system.

Sekarang boro-boro winger kanan oper jauh ke winger kiri, deadlock dikit di satu flank, kanan misalnya, palingan oper ke bek dibelakangnya, terus dioper ke bek tengah, ke bek sayap kiri terus baru ke winger kiri. Atau, kemungkinan terburuk, backpass.

Kelamaan.

Sistem bermain begini yang membosankan dan seakan jadi obat tidur para pemirsa yang berharap lebih sama pertandingan MU saat itu, berharap dengan nonton mereka, akan ada excitement yang akan dirasain sampe saat mereka menyentuh ranjang, ato bahkan pas bangun pagi. Sayangnya, malah rasa kangen yang ada. Kangen akan sistem bermain MU yang bikin penonton duduknya maju banget, pantatnya bertengger dengan gak sabar di pinggir kursi, gak sempet munduran dikit apalagi nyender.

Gue bilang ini bukannya karena gue rasa MU jarang menyerang, no. Mereka selalu ada diposisi memegang kendali permainan, tapi manajemen resiko mereka terlalu berhati-hati dalam pengambilan keputusannya, sehingga gue kurang terhibur. Dan gue percaya, cara mereka nyetak gol akan sangat berpengaruh kepada mood mereka dan gue sebagai penonton. 


Gue mendengar hati kecil gue yang dari SD udah kecanduan pertandingan MU berkata, “Ini bukan sistem yang pas buat MU yang gue kenal.” Dan, gue gak sendiri. Ada banyak fans diluar sana yang sama gregetannya kayak gue, bahkan seringkali fans setia MU distadion, yang kurang terhibur, menyanyikan chant “ATTACK! ATTACK” sebagai bentuk hiburan satiris yang bisa mereka buat sendiri, sekaligus menyuarakan ketidaksukaan mereka pada sistem yang sekarang. sungguh,

Ada ikatan batin antara mereka dan sistem yang mereka sukai. When their team doesn't play the way they want them to play, they see that as a serious issue.

Dan dari situ, gue tau kalo mencintai sesuatu karena cara mereka berproses (sistem) sama mulianya dengan mencintai sesuatu karena keberadaan mereka itu sendiri (sosok).

Tapi, ini bukan hal yang populer ditanah gue. Bicara tentang mencintai sosok adalah hal yang lebih populer, seakan-akan lebih masuk akal untuk dicintai. Mencintai karena eksistensi sesuatu itu sendiri. Gak peduli apa yang ia lakukan. Contoh ekstrimnya adalah ketika Rahwana mencintai Ramayana, meskipun Ramayana telah berubah wujud (menyamar) berkali-kali. Ia tulus memang, mencintai jiwa dan keberadaan dari Ramayana itu sendiri. Tapi yang gue bingung, jika emas berjiwa dan Rahwana mencintai emas, apakah jika jiwa emas dipindah ke raga tai, maka dia akan mencintai tai tersebut?

Sebaliknya, dengan mencintai karena sistem, orang akan lebih rasional dalam memilih sesuatu. Orang akan melihat proses dalam melihat sesuatu. Alasan yang lebih dalam yang menarik untuk bisa membuat seseorang jatuh cinta, bukan?

Saat ini, mungkin pada mikir kalo gue berusaha mengarahkan motif kecintaan kita untuk berpindah dari ‘sosok’ ke ‘sistem’ tapi engga juga. Gue juga ogah mencintai tai yang beramal shalih lagi rajin menabung.


Kesimpulannya? Keduanya harus seimbang. 50 persen - 50 persen idealnya. Gimana juga sosok adalah eksistensi sesuatu itu sendiri, dan baik buruknya kadang ditentukan oleh keberadaannya, jiwanya, wujudnya. Tapi, sistem juga gak boleh dikesampingkan. Gimanapun juga, background dan cara berproses gabisa diacuhkan untuk ngeliat hasil akhirnya aja.

Tapi, sayangnya yang gue liat saat ini masih belom seseimbang itu.

Orang-orang seperti lebih prefer to look for somebody to blame daripada mencari tau how something happened. Seakan-akan lebih sakral buat nemuin siapa orang yang bersalah dibanding gimana sesuatu bisa terjadi. Kalopun nyaritau gimana sesuatu bisa terjadi, palingan ujung-ujungnya buat nyaritau siapa yang salah, buat kemudian disalahin. Bukan untuk dipelajari, dan direnungi. Disangka kehidupan ini kayak kasus pembunuhan di Detektif Conan apa?

Gue rasa misal Indonesia bangkrut mendadak, orang-orang lebih tertarik menghukum gantung Penguasa dibandingkan mencari tahu apa yang salah. Jauh lebih menarik nemuin ada sesorang ada didepanlo untuk disalahin, bukan? Untuk dihakimi dan dipermalukan, dibanding mesti repot-repot mencari tahu apa yang salah, bagaimana seharusnya, supaya gak keulang dimasa depan.

Dan, lebih buruknya, dimata orang awam(yang salah satunya adalah gue), ‘sistem’ dimata mereka jauh lebih remeh daripada cara berproses, how to run things, how to make things happen, etc. Dimata mereka, sistem adalah sebatas ‘cara untuk mencari sosok.’ lah, kok ‘sistem’ dipake untuk mencari ‘sosok’??? Banyak amat porsi ‘sosok’ dalam motivasi seseorang mencintai sesuatu, kalo jatahnya sistem aja dipake buat mencari sosok. Boro-boro 50 persen, 70 persen aja udah syukur.

Efeknya? Tentu aja pada pengembangan wawasan kita, cupet mampus lah kita ini dengan kecintaan berlebih kepada ‘sosok’ itu. Jauh lebih menarik menemukan seseorang terpelajar dengan bakat luar biasa dibanding mempelajari bagaimana membuat seseorang yang goblok jadi terpelajar dan luar biasa. Bayangkan betapa mantapnya dunia yang ada dengan pemaksimalan orang-orang goblok itu, jadi dunia yang lebih efisien dan, ehm, adil, bukan?

Tapi, gimanapun juga, itulah kita. Yang mencintai sesuatu dengan buta. Dengan hanya fokus kepada ‘Sosok’ daripada ‘Sistem’ itu sendiri. Dan dengan kecintaan buta itu, kita menjadi salah satu komponen yang bertanggung jawab atas ketidakadilan didunia ini.

Gue harap motif mencintai sesuatu bisa diubah semudah ketiduran dipertandingan MU saat ini.

1 comments

My Instagram